Rabu, 18 Februari 2009

Surat untuk Pemimpin dari: 'Ali bin Abi Thalib dan Sultan Muhammad Al Fatih, kewibawaan seorang Pemimpin

Sultan Muhammad Al Fatih dikenang sejarah Islam atas kemuliaan dan keadilannya dalam berpolitik. Bisakah calon pemimpin kita seperti itu?
Khalifah 'Ali radiyallahu 'anhu menulis surat ditujukan kepada Gubernur Mesir.
Oleh: Nuim Hidayat

"Sesungguhnya orang-orang akan melihat segala urusanmu, sebagaimana engkau dahulu melihat urusan para pemimpin sebelummu. Rakyat akan mengawasimu dengan matanya yang tajam, sebagaimana kamu menyoroti pemerintahan sebelumnya juga dengan pandangan yang tajam." (Surat Khalifah Ali r.a. kepada Gubernur Mesir)

JABATAN politik saat ini menjadi tren dan rebutan jutaan orang dan partai politik. Kampanye lewat spanduk, brosur, kartuIlsutrasi nama, facebook, email bertebaran di dunia nyata maupun dunia maya. Salah satu sisi, hal itu menambah ketidaksedapan keindahan tata kota, tapi di sisi lain hal itu tidak bisa dihindari, karena peraturan negara lewat KPU sendiri dibuat untuk memubahkan hal-hal seperti itu.

Tentu ketika mencalonkan menjadi caleg, capub, cagub atau capres, mereka mempunyai mimpi-mimpi indah untuk diri mereka. Kita tidak tahu apakah mereka mempunyai mimpi indah juga untuk konstituen atau masyarakatnya. Misalnya bila dihadapkan pada kondisi krisis, siapa yang dikorbankan dirinya atau rakyatnya, kita tidak tahu apa yang ada dalam benak mereka.

Para ulama dan pemimpin-pemimpin Islam dalam sejarah, telah memberikan nasehat yang berharga tentang masalah ini. Diantaranya adalah nasihat khalifah keempat yang mulia Ali bin Abi Thalib kepada gubernur Mesir Malik bin Harits al Asytar, pada tahun 655M. Nasihat ini berisi prinsip-prinsip dasar tentang pengelolaan atau manajemen sebuah pemerintahan, organisasi dan lain-lain.

Menurut Profesor A Korkut Özal dari Turki, pada perkembangan selanjutnya ternyata surat ini memberi banyak inspirasi bahkan menjadi bahan acuan bagi banyak pemimpin, melintasi ruang dan waktu. Tercatat, ia mampu melintasi Eropa di masa Renaissance bahkan Edward Powcock (1604-1691), profesor di Universitas Oxford, menerjemahkan surat ini ke dalam bahasa Inggris untuk pertama kalinya dan pada 1639 disebarkan melalui serial kuliahnya yang disebut Rhetoric.

Berikut cuplikan nasehat-nasehat Sahabat Rasulullah 'Ali r.a. yang sangat berharga itu:

"Ketahuilah wahai Malik bahwa aku telah mengangkatmu menjadi seorang Gubernur dari sebuah negeri yang dalam sejarahnya berpengalaman dengan pemerintahan-pemerintahan yang benar maupun tidak benar. Sesungguhnya orang-orang akan melihat segala urusanmu, sebagaimana engkau dahulu melihat urusan para pemimpin sebelummu. Rakyat akan mengawasimu dengan matanya yang tajam, sebagaimana kamu menyoroti pemerintahan sebelumnya juga dengan pandangan yang tajam.

Mereka akan bicara tentangmu, sebagaimana kau bicara tentang mereka. Sesungguhnya rakyat akan berkata yang baik-baik tentang mereka yang berbuat baik pada mereka. Mereka akan 'menggelapkan' semua bukti dari tindakan baikmu. Karenanya, harta karun terbesar akan kau peroleh jika kau dapat menghimpun harta karun dari perbuatan-perbuatan baikmu. Jagalah keinginan-keinginanmu agar selalu di bawah kendali dan jauhkan dirimu dari hal-hal yang terlarang. Dengan sikap yang waspada itu, kau akan mampu membuat keputusan di antara sesuatu yang baik atau yang tidak baik untuk rakyatmu.

Kembangkanlah sifat kasih dan cintailah rakyatmu dengan lemah lembut. Jadikanlah itu sebagai sumber kebijakan dan berkah bagi mereka. Jangan bersikap kasar dan jangan memiliki sesuatu yang menjadi milik dan hak mereka. Sesungguhnya manusia itu ada dua jenis, yakni orang-orang yang merupakan saudara seagama denganmu dan orang-orang sepertimu.

Mereka adalah makhluk-makhluk yang lemah, bahkan sering melakukan kesalahan. Bagaimanapun berikanlah ampun dan maafmu sebagaimana engkau menginginkan ampunan dan maaf dari-Nya. Sesungguhnya engkau berada di atas mereka dan urusan mereka ada di pundakmu. Sedangkan Allah berada di atas orang yang mengangkatmu. Allah telah menyerahkan urusan mereka kepadamu dan menguji dirimu dengan urusan mereka.

Janganlah engkau persiapkan dirimu untuk memerangi Allah, karena engkau tidak mungkin mampu menolak azab-Nya dan tidak mungkin dirimu akan meninggalkan ampunan dan rahmat-Nya.

Janganlah pernah menyesal atas ampunan yang kau berikan. Begitupun janganlah bergembira dengan sebuah hukuman. Jangan pula tergsa-gesa memutuskan atau melakukan semata karena emosi, sementara engkau sebenarnya dapat memperoleh jalan keluar.

Jangan katakan:"Aku ini telah diangkat menjadi pemimpin, maka aku bisa memerintahkan dan harus ditaati", karena hal itu akan merusak hatimu sendiri, melemahkan keyakinanmu pada agama dan menciptakan kekacauan dalam negerimu. Bila kau merasa bahagia dengan kekuasaan atau malah merasakan semacam gejala rasa bangga dan ketakaburan, maka pandanglah kekuasaan dan keagungan pemerintahan Allah atas semesta, yang kamu sama sekali tak mampu kuasai. Hal itu akan meredakan ambisimu, mengekang kesewenang-wenangan dan mengembalikan pemikiranmu yang terlalu jauh.

Jangan sampai engkau melawan Allah dalam keagungan-Nya dan menyerupai-Nya dalam keperkasaan-Nya. Sesungguhnya Allah akan merendahkan setiap orang yang angkuh dan menghinakan setiap orang yang sombong.

Senantiasa belajarlah segala sesuatu hal pada mereka yang memiliki pengalaman yang matang dan penuh kebijakan. Seringlah bertanya pada mereka tentang hal-hal kenegaraan sehingga engkau dapat mempertahankan kebaikan dan perdamaian yang oleh para pendahulumu sudah pernah ditegakkan.

Tajamkanlah matamu pada orang-orang yang sejak dulu atau sekonyong dekat denganmu, akan cenderung menggunakan posisinya untuk mengambil atau mengorupsi milik dan hak orang lain dan siap berlaku tidak adil. Tekanlah sedalamnya kecenderungan seperti itu.

Buatlah peraturan-peraturan di bawah kendalimu yang tidak memberi kesempatan sekecil pada kerabatmu. Hal itu akan mencegah mereka melakukan kekerasan pada hak orang lain dan menghindarkanmu dari kehinaan di depan Allah dan manusia umumnya."

Menarik juga membaca surat wasiat Sultan Muhammad al Fatih (831 M) kepada anaknya. Al Fatih oleh para ulama dan sejarawan Islam disebut sebagai penakluk Konstatinopel. Ia adalah laki-laki yang disebut Rasulullah saw sebagai : "Konstatinopel akan bisa ditaklukkan di tangan seorang laki-laki. Maka orang yang memerintah di sana adalah sebaik-baik penguasa dan tentaranya adalah sebaik-baik tentara." (HR Ahmad)

Dr. Ali Muhammad as Shalabi mengemukakan sifat-sifat mulia Muhammad al Fatih. Sifat-sifat itu adalah: perhatian yang tinggi terhadap universitas dan sekolah, kepeduliannya yang besar terhadap para ulama, perhatiannya terhadap penyair dan sastrawan, kepeduliannya terhadap penerjemahan buku-buku, perhatiannya terhadap pembangunan dan rumah sakit, kepeduliannya terhadap perdagangan dan industri, perhatiannya terhadap masalah administrasi, kepeduliannya terhadap tentara dan armada laut dan komitmennya pada keadilan.

Masih ada yang lain, cuplikan dari nasehat sang pembuka kemenangan di Konstatinopel, Islambul(Turki) itu:

"Tak lama lagi aku akan menghadap Allah SWT. Namun aku sama sekali tidak merasa menyesal, sebab aku meninggalkan pengganti seperti kamu. Maka jadilah engkau seorang yang adil, saleh dan pengasih. Rentangkan perlindunganmu terhadap seluruh rakyatmu tanpa perbedaan. Bekerjalah kamu untuk menyebarkan agama Islam sebab ini merupakan kewajiban raja-raja di bumi. Kedepankan kepentingan agama atas kepentingan lain apapun. Janganlah kamu lemah dan lengah dalam menegakkan agama. Janganlah kamu sekali-kali memakai orang-orang yang tidak peduli agama menjadi pembantumu. Jangan pula kamu mengangkat orang-orang yang tidak menjauhi dosa-dosa besar dan larut dalam kekejian. Hindari bid'ah-bid'ah yang merusak. Jauhi orang-orang yang menyuruhmu melakukan itu. Lakukan perluasan negeri ini melalui jihad. Jagalah harta baitul mal jangan sampai dihambur-hamburkan. Jangan sekali-kali engkau mengulurkan tanganmu pada harta rakyatmu kecuali itu sesuai dengan aturan Islam. Himpunlah kekuatan orang-orang yang lemah dan fakir, dan berikan penghormatanmu kepada orang-orang yang berhak.

Oleh sebab ulama itu laksana kekuatan yang harus ada di dalam raga negeri, maka hormatilah mereka. Jika kamu mendengar ada seorang ulama di negeri lain, ajaklah dia agar datang ke negeri ini dan berilah dia harta kekayaan. Hati-hatilah jangan sampai kamu tertipu dengan harta benda dan jangan pula dengan banyaknya tentara. Jangan sekali-kali kamu mengusir ulama dari pintu-pintu istanamu. Janganlah kamu sekali-kali melakukan satu hal yang bertentangan dengan hukum Islam. Sebab agama merupakan tujuan kita, hidayah Allah adalah manhaj (pedoman) hidup kita dan dengan agama kita menang.

Ambillah pelajaran ini dariku. Aku datang ke negeri ini laksana semut kecil, lalu Allah karuniakan kepadaku nikmat yang demikian besar ini. Maka berjalanlah seperti apa yang aku lakukan. Bekerjalah kamu untuk meninggikan agama Allah dan hormatilah ahlinya. Janganlah kamu menghambur-hamburkan harta negara dalam foya-foya dan senang-senang atau kamu pergunakan lebih dari yang sewajarnya. Sebab itu semua merupakan penyebab utama kehancuran."

Karena kemuliaan Muhammad al Fatih ini, sehingga menjadi pemimpin besar dalam sejarah Islam. Bisakah pemimpin politik kita besikap seperti itu? Wallahu aziizun hakiim.*
hidayatullah.com
Baca lebih lanjut......

Selasa, 10 Februari 2009

Penantian Seorang Wanita dalam Kemuliaan di Ujung Malam

Penantian Seorang Wanita dalam Kemuliaan di Ujung Malam
Oleh: Aidil Heryana

Malam kian larut berselimut gulita
T’lah sekian lama tiada kekasih kucumbu
Demi Allah, bila bukan karena mengingat-Mu
Niscaya ranjang ini t’lah bergoyang
Namun duhai rabbi,
Rasa malu telah menghalangiku…


Hari demi hari berlalu tanpa kesan apa pun, semua dirasakan kosong, semua berlalu secepat petir yang singgah hanya dalam hujan sehari. Perasaan itu seakan berteriak kencang ‘aku butuh teman’….tapi tak seorang pun mampu mendengarnya, lalu dipejamkan matanya, berpikir…’aku dalam kesendirian’.Kungkungan sunyi dan kehampaan hati itu seakan bertanya, adakah seseorang yang mau berbagi. Berbagi dalam suka dan duka, tak peduli pagi, siang dan malam. Dia membutuhkan semua itu, merindukan saat-saat indah itu. Saat ketika rindu menyapa yang membawanya jauh dengan perasaan itu, hasrat itu.

Wanita itu termenung di balik jendela kamarnya. Tatapan matanya kosong. Sementara suasana malam terasa begitu mencekam: dingin dan sepi. Suami tercinta berada di negeri jauh melaksanakan tugas khalifah di medan jihad. Wanita itu nyaris frustrasi karena pertahanan diri mulai terganggu. Wanita shalihah yang tinggal di pinggiran madinah ini lebih suka sendirian dalam kamarnya. Ia seakan hilang dari kehidupan ramai. Apalagi sewaktu udara begitu dingin menusuk tulang. Berkawankan sepi dan dingin, namun dalam suasana demikian mampukah wanita itu melahirkan muraqabatullah.

Syair itu menggambarkan pergulatan batin yang luar biasa, dilantunkan seorang perempuan di zaman Umar bin Khatab. Waktu itu, Umar sedang berkeliling kota dalam kegelapan malam. Dalam perjalanan rutin itu, sampailah beliau ke dekat rumah seorang perempuan yang sedang menahan gejolak biologisnya karena ditinggal berjihad suaminya dalam waktu yang lama. Untuk sekedar menghibur diri sendiri dalam kesepian yang begitu sangat, terlantunkanlah syair itu yang kemudian didengar oleh Umar.
Keterpisahan dengan suami tercinta dalam waktu lama, kesepian, kegelapan malam melambangkan kesuraman yang melanda jiwanya. Kesulitan untuk tidur pada waktu itu mungkin merupakan pengalaman terburuk yang pernah dijumpainya. Penderitaan yang paling menyiksa bagi seseorang yang mengalami kesepian.

Orang yang terjaga dari tidurnya di tengah-tengah kesunyian malam, sangat mudah dipengaruhi oleh alam bawah sadarnya. Bayang-bayang mimpi yang mendatangkan perasaan cemas dan gelisah meninggalkan kesan yang mencekam perasaan. Cara apa pun yang katanya dapat menghapus perasaan was-was itu pada keesokan harinya tidak banyak bermanfaat. Bahkan, sekalipun kita tidak mengalami tekanan perasaan seberat yang dialami wanita tadi, ketakutan-ketakutan (trauma) yang terkubur dalam alam bawah sadar kita menyebabkan kita mudah diserang oleh perasaan cemas dan gelisah itu.

Manusia tanpa kesadaran muraqabatullah akan selalu dahaga, karenanya mereka sangat bernafsu untuk memburu segala sesuatu yang berhubungan dengan hasrat ini. Menyalurkan hasrat rendah ini dalam rel yang berseberangan dengan perintah Allah bukanlah meredakan gairah, tapi malah semakin memacu semangat mendapatkan kemaksiatan yang lain. Faktanya, usaha manusia untuk senantiasa berpacu dalam memenuhi segala hasratnya malah menimbulkan tegangan dan dorongan baru yang harus dikejar dan dipenuhi yaitu “keinginan”.

Keinginan adalah sesuatu yang paradoks: setelah suatu keinginan terpenuhi, timbul keinginan lain untuk segera diselesaikan dan dipenuhi hajatnya. Namun, dalam kerangka kehidupan modern, keinginan haruslah menjadi sesuatu yang tak berujung dan harus selalu diposisikan sebagai pesona yang dapat menyedot hasrat.

Subhanallah, ternyata penderitaan wanita itu tidak berakhir dalam kemaksiatan. Kesetiaannya masih tegak berdiri seperti gunung memaku bumi. Padahal badai hasrat itu begitu kuat seakan tsunami yang melantakkan apa saja. Namun ‘al khauf’ yang menghunjam jiwanya memenangkan Allah atas segalanya. Hatinya dikuasai Allah, kesadaran dzikrullahnya begitu teruji.

Inilah pangkal masalah terbesar yang kita hadapi saat ini yaitu jauh dari Allah, jarang mengingat Allah, dan “dikuasainya” hati kita oleh sesuatu selain Allah. Inilah masalah yang akan mendatangkan banyak masalah lainnya. Saat jauh dari Allah, maka kita akan leluasa berbuat maksiat. Tidak ada lagi rasa malu. Tidak ada lagi rasa diawasi oleh Allah, sehingga tidak ada lagi yang mengendalikan perilaku kita. Maksiat inilah yang kemudian melahirkan ketidaktenangan, kehinaan, dan kesengsaraan hidup.

Sejak temuan kasus ini, maka Umar bersegera menemui putrinya yang tercinta, Hafshah, kemudian bertanya, “Berapa lama seorang perempuan tahan menunggu suaminya ?“ Dijawablah oleh Hafshah, “empat bulan”. Setelah kejadian tersebut, Umar memerintahkan kepada para panglima perang untuk tidak membiarkan seorangpun dari tentaranya meninggalkan keluarganya lebih dari empat bulan. Begitulah kepedulian sekaligus solusi seorang pemimpin seperti Umar di zamannya.

Kemudian apa yang tengah terjadi dengan wanita kita sekarang, dengan isteri-isteri kita, dengan anak-anak kita bahkan dengan ibu-ibu kita. Kalau keterbatasan teknologi di zaman Umar saja nyaris menggelincirkan iman seorang wanita mukminah, bagaimana dengan kita sekarang? Zaman dimana teknologi telah menyatu dengan kehidupan manusia kalaupun belum bisa dikatakan diperbudak teknologi. Hampir tak ada wilayah privacy yang tidak tersentuh produk teknologi ini, bahkan ketika kita menghadap Allah pun ringtone HP masih menyertai. Industrialisasi yang kapitalistik telah menghantarkan wanita sebagai komoditas. Semangat konsumerisme dipompakan dengan begitu hebat. Pengertian konsumsi yang absurd ini dalam kehidupan modern menjadi arena sosial yang menyedot dan menarik minat energi pelampiasan.

Ia menjelma menjadi medan kesadaran yang harus segera dipenuhi dan dipuaskan kebutuhannya. Identitas diri di hadapan lingkungan sosial yang demikian diperebutkan dan dibentuk oleh produk-produk rayuan melalui citra-citra tertentu yang ditawarkan lewat berbagai media massa: Supaya Anda kelihatan jantan dan macho Anda harus mengisap rokok tertentu. Supaya perempuan kelihatan cantik, pergunakanlah kosmetik merek tertentu. Agar Anda dikategorikan sebagai manusia yang tidak ketinggalan zaman, milikilah atribut artis yang lagi ngetop!

Logikanya adalah jika segala hawa nafsu disalurkan demi pemenuhan kenikmatan, ia dapat menjadi semacam dinamo yang pengoperasiannya bisa dilakukan menjadi tanpa batas sehingga akhirnya ia menjelma menjadi sesuatu yang tidak realistis dan membahayakan eksistensi manusia itu sendiri. Oleh karena itu, sangatlah wajar jika para ‘ulama yang shalih, misalnya, memandang manusia seperti ini sebagai manusia yang dibutakan matanya yang hanya tertarik pada kulit ketimbang terpesona untuk mencari dan menemukan isi.

“Apakah engkau tidak perhatikan orang yang telah menjadikan hawa nafsu sebagai tuhannya. Apakah engkau akan dapat menjadi pelindungnya. Atau apakah engkau mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memehami? Mereka itu hanyalah seperti binatang ternak bahkan lebih sesat lagi.” Qs. Al Furqan: 43-44)

Dapat dimengerti jika logika hawa nafsu sanggup memalingkan dan menyamarkan setiap upaya pencarian manusia terhadap nilai-nilai luhur sebab logika hawa nafsu yang mewabah akibat bekerjanya spirit kapitalisme diproduksi oleh apa yang mereka sebut sebagai “mesin hawa nafsu”–sebuah peristilahan psikoanalisis yang mereka gunakan untuk menjelaskan mekanisme produksi “ketidakcukupan” dalam diri seseorang. Keinginan untuk “memiliki” bukan disebabkan “ketidakcukupan alamiah” yang ada dalam diri kita, melainkan hanya untuk memenuhi pencarian identitas yang tidak henti-hentinya. Oleh karena itu, identitas manusia hari ini adalah identitas yang dibangun oleh proses konsumsi dan proses komoditi dari citraan dan rayuan-rayuan media massa.

Iklan-iklan di televisi misalnya, ia beroperasi lewat pengosongan tanda-tanda dari pesan dan maknanya secara utuh sehingga yang tersisa adalah penampakan semata. Sebuah wajah merayu yang penuh atribut dan make-up adalah wajah yang kosong tanpa makna sebab penampakan artifisial dan kepalsuannya menyembunyikan kebenaran diri. Apa yang ditampilkan dari kepalsuan dan kesemuan tersebut menjadi sebuah rayuan bagi para pemirsa. Hingga yang muncul dari sebuah rayuan, bukanlah sampainya pesan dan makna-makna, melainkan munculnya keterpesonaan, ketergiuran, dan gelora hawa nafsu: gelora seksual, gelora belanja, gelora berkuasa.

Sehingga tidak sedikit kita lihat, banyak wanita yang terjebak dengan anggapan bahwa keelokan fisik adalah segala-galanya. Mereka menganggap bahwa kemuliaan dan kebahagiaan akan didapat bila berwajah cantik, kulit yang putih, dan tubuh yang ramping. Maka tidak aneh kalau banyak ditemukan wanita yang mati-matian memperputih kulitnya, mengoperasi plastik bagian tubuhnya, menghambur-hamburkan berjuta-juta uang demi mengejar prestise.

Sementara bagi yang tidak mampu, mereka menjadi rendah diri dan merasa tereliminasi dari pergaulan. Padahal, kecantikan dan kemolekan tubuh tidak dapat dijadikan tolok ukur kemuliaan. Lebih jauh lagi, semua itu tidak bisa menjamin seseorang akan bahagia. Sesungguhnya kemuliaan yang diraih seorang wanita salehah adalah karena kemampuannya untuk menjaga martabatnya (‘iffah) dengan hijab serta iman dan takwa.

Ibarat sebuah bangunan, ia akan berdiri lama jika mempunyai pondasi yang kokoh. Andaikan pondasi sebuah bangunan itu tidak kokoh, maka seindah dan semegah apapun, pasti akan cepat runtuh. Begitu juga dengan iffah yang dimiliki oleh seorang wanita, dengan iman dan takwa merupakan pondasi dasar untuk meraih kemulian-kemulian lain.

Dengan iffah, seorang muslimah akan selalu menjaga akhlaknya. Salah satu ciri bahwa imannya kuat adalah kemampuannya memelihara rasa malu. Sebagaimana terukir dalam hadis Nabi Saw. : ”Malu dan iman itu saling bergandengan, jika hilang salah satunya, maka hilanglah bagian yang lain.” (HR. Hakim dan At-Thabari).

Adanya rasa malu, membuat segala tutur kata dan tindak tanduknya selalu terkontrol. Ia tidak akan melakukan sesuatu yang menyimpang dari bimbingan Al-Quran dan Sunnah. Sehingga dengan akhlak yang dimiliki, ia lebih harum daripada kesturi.

Dengan iffah, seorang muslimah akan sadar betul bagaimana cara bersikap dan bertutur kata. Tidak ada dalam sejarah, seorang wanita salehah centil, suka jingkrak-jingkrak dan menjerit-jerit saat mendapatkan kesenangan. Ia akan sangat menjaga setiap tutur katanya agar bernilai bagaikan untaian mutu manikam yang penuh makna bermutu tinggi.

Tengoklah figur-figur mulia yang mendapatkan tempat terhormat di tengah-tengah umat hingga kini. Khadijah ra. misalnya, namanya terus berkibar sampai sekarang, bahkan setiap anak wanita dianjurkan untuk meneladaninya.

Terkenalnya seorang Khadijah bukan karena kecantikan wajahnya, namun karena pengorbanannya yang demikian fenomenal dalam mendukung perjuangan dakwah Rasulullah Saw. Begitu pun Aisyah ra., salah seorang istri Nabi dan juga seorang cendikiawan muda. Darinya para sahabat mendapat banyak ilmu. Ada pula Asma binti Yazid, seorang mujahidah yang membinasakan sembilan tentara Romawi di perang Yarmuk, hanya dengan sebilah tiang kemah. Masih banyak wanita mulia yang berkarya untuk umat pada masa-masa berikutnya. Keharuman dan keabadian nama mereka disebabkan oleh kemampuan mengembangkan kualitas diri, menjaga iffah (martabat), dan memelihara diri dari kemaksiatan. Sinar kemuliaan mereka muncul dari dalam diri, bukan fisik. Sinar inilah yang lebih abadi.
Baca lebih lanjut......

13 Sifat Laki-laki Yang Tidak Disukai Perempuan

13 Sifat Laki-laki Yang Tidak Disukai Perempuan
Oleh: DR. Amir Faishol Fath

dakwatuna.com - Para istri atau kaum wanita adalah manusia yang juga
mempunyai hak tidak suka kepada laki-laki karena beberapa sifa-
sifatnya. Karena itu kaum lelaki tidak boleh egois, dan merasa benar.
Melainkan juga harus memperhatikan dirinya, sehingga ia benar-benar
bisa tampil sebagai seorang yang baik. Baik di mata Allah, pun baik di
mata manusia, lebih-lebih baik di mata istri. Ingat bahwa istri adalah
sahabat terdekat, tidak saja di dunia melainkan sampai di surga.
Karena itulah perhatikan sifat-sifat berikut yang secara umum sangat
tidak disukai oleh para istri atau kaum wanita. Semoga bermanfaat.

Pertama, Tidak Punya Visi
Setiap kaum wanita merindukan suami yang mempunyai visi hidup yang
jelas. Bahwa hidup ini diciptakan bukan semata untuk hidup. Melainkan
ada tujuan mulia. Dalam pembukaan surah An Nisa’:1 Allah swt.
Berfirman: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah
menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada
Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu
sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah
selalu menjaga dan mengawasi kamu”. Dalam ayat ini Allah dengan tegas
menjelaskan bahwa tujuan hidup berumah tangga adalah untuk bertakwa
kepada Allah. Takwa dalam arti bersungguh mentaati-Nya. Apa yang Allah
haramkan benar-benar dijauhi. Dan apa yang Allah perintahkan benar
ditaati.
Namun yang banyak terjadi kini, adalah bahwa banyak kaum lelaki atau
para suami yang menutup-nutupi kemaksiatan. Istri tidak dianggap
penting. Dosa demi dosa diperbuat di luar rumah dengan tanpa merasa
takut kepada Allah. Ingat bahwa setiap dosa pasti ada kompensasinya.
Jika tidak di dunia pasti di akhirat. Sungguh tidak sedikit rumah
tangga yang hancur karena keberanian para suami berbuat dosa. Padahal
dalam masalah pernikahan Nabi saw. bersabda: “Pernikahan adalah
separuh agama, maka bertakwalah pada separuh yang tersisa.”

Kedua, Kasar
Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa wanita diciptakan dari tulang
rusuk yang bengkok. Ini menunjukkan bahwa tabiat wanita tidak sama
dengan tabiat laki-laki. Karena itu Nabi saw. menjelaskan bahwa kalau
wanita dipaksa untuk menjadi seperti laki-laki tulung rusuk itu akan
patah. Dan patahnya berarti talaknya. Dari sini nampak bahwa kaum
wanita mempunyai sifat ingin selalui dilindungi. Bukan diperlakukan
secara kasar. Karena itu Allah memerintahkan para suami secara khusus
agar menyikapi para istri dengan lemah lembut: Wa’aasyiruuhunna bil
ma’ruuf (Dan sikapilah para istri itu dengan perlakuan yang baik) An
Nisa: 19. Perhatikan ayat ini menggambarkan bahwa sikap seorang suami
yang baik bukan yang bersikap kasar, melainkan yang lembut dan
melindungi istri.
Banyak para suami yang menganggap istri sebagai sapi perahan. Ia
dibantai dan disakiti seenaknya. Tanpa sedikitpun kenal belas kasihan.
Mentang-mentang badannya lebih kuat lalu memukul istri seenaknya.
Ingat bahwa istri juga manusia. Ciptaan Allah. Kepada binatang saja
kita harus belas kasihan, apalagi kepada manusia. Nabi pernah
menggambarkan seseorang yang masuk neraka karena menyikas seekor
kucing, apa lagi menyiksa seorang manusia yang merdeka.

Ketiga, Sombong
Sombong adalah sifat setan. Allah melaknat Iblis adalah karena
kesombongannya. Abaa wastakbara wakaana minal kaafiriin (Al
Baqarah:34). Tidak ada seorang mahlukpun yang berhak sombong, karena
kesombongan hanyalah hak priogatif Allah. Allah berfirman dalam hadits
Qurdsi: “Kesombongan adalah selendangku, siapa yang menandingi aku,
akan aku masukkan neraka.” Wanita adalah mahluk yang lembut.
Kesombongan sangat bertentangan dengan kelembutan wanita. Karena itu
para istri yang baik tidak suka mempunyai suami sombong.
Sayangnya dalam keseharian sering terjadi banyak suami merasa bisa
segalanya. Sehingga ia tidak mau menganggap dan tidak mau mengingat
jasa istri sama sekali. Bahkan ia tidak mau mendengarkan ucapan sang
istri. Ingat bahwa sang anak lahir karena jasa kesebaran para istri.
Sabar dalam mengandung selama sembilan bulan dan sabar dalam menyusui
selama dua tahun. Sungguh banyak para istri yang menderita karena
prilaku sombong seorang suami.

Keempat, Tertutup
Nabi saw. adalah contoh suami yang baik. Tidak ada dari sikap-sikapnya
yang tidak diketahui istrinya. Nabi sangat terbuka kepada istri-
istrinya. Bila hendak bepergian dengan salah seorang istrinya, nabi
melakukan undian, agar tidak menimbulkan kecemburuan dari yang lain.
Bila nabi ingin mendatangi salah seorang istrinya, ia izin terlebih
dahulu kepada yang lain. Perhatikan betapa nabi sangat terbuka dalam
menyikapi para istri. Tidak seorangpun dari mereka yang merasa
didzalimi. Tidak ada seorang dari para istri yang merasa
dikesampingkan.
Kini banyak kejadian para suami menutup-nutupi perbuatannya di luar
rumah. Ia tidak mau berterus terang kepada istrinya. Bila ditanya
selalu jawabannya ngambang. Entah ada rapat, atau pertemuan bisnis dan
lain sebagainya. Padahal tidak demikian kejadiannya. Atau ia tidak mau
berterus terang mengenai penghasilannya, atau tidak mau menjelaskan
untuk apa saja pengeluaran uangnya. Sikap semacam ini sungguh sangat
tidak disukai kaum wanita. Banyak para istri yang tersiksa karena
sikap suami yang begitu tertutup ini.

Kelima, Plinplan
Setiap wanita sangat mendambakan seorang suami yang mempunyai
pendirian. Bukan suami yang plinplan. Tetapi bukan diktator. Tegas
dalam arti punya sikap dan alasan yang jelas dalam mengambil
keputusan. Tetapi di saat yang sama ia bermusyawarah, lalu menentukan
tindakan yang harus dilakukan dengan penuh keyakinan. Inilah salah
satu makna qawwam dalam firman Allah: arrijaalu qawwamuun alan nisaa’
(An Nisa’:34).

Keenam, Pembohong
Banyak kejadian para istri tersiksa karena sang suami suka berbohong.
Tidak mau jujur atas perbuatannya. Ingat sepandai-pandai tupai
melompat pasti akan jatuh ke tanah. Kebohongan adalah sikap yang
paling Allah benci. Bahkan Nabi menganggap kebohongan adalah sikap
orang-orang yang tidak beriman. Dalam sebuah hadits Nabi pernah
ditanya: hal yakdzibul mukmin (apakah ada seorang mukmin berdusta?)
Nabi menjawab: Laa (tidak). Ini menunjukkan bahwa berbuat bohong
adalah sikap yang bertentangan dengan iman itu sendiri.
Sungguh tidak sedikit rumah tangga yang bubar karena kebohongan para
suami. Ingat bahwa para istri tidak hanya butuh uang dan kemewahan
dunia. Melainkan lenbih dari itu ia ingin dihargai. Kebohongan telah
menghancurkan harga diri seorang istri. Karena banyak para istri yang
siap dicerai karena tidak sanggup hidup dengan para sumai pembohong.

Ketujuh, Cengeng
Para istri ingin suami yang tegar, bukan suami yang cengeng. Benar Abu
Bakar Ash Shiddiq adalah contoh suami yang selalu menangis. Tetapi ia
menangis bukan karena cengeng melainkan karena sentuhan ayat-ayat Al
Qur’an. Namun dalam sikap keseharian Abu Bakar jauh dari sikap
cengeng. Abu Bakar sangat tegar dan penuh keberanian. Lihat sikapnya
ketika menghadapi para pembangkang (murtaddin), Abu Bakar sangat tegar
dan tidak sedikitpun gentar.
Suami yang cenging cendrung nampak di depan istri serba tidak
meyakinkan. Para istri suka suami yang selalu gagah tetapi tidak
sombong. Gagah dalam arti penuh semangat dan tidak kenal lelah. Lebih
dari itu tabah dalam menghadapi berbagai cobaan hidup.

Kedelapan, Pengecut
Dalam sebuah doa, Nabi saw. minta perlindungan dari sikap pengecut
(a’uudzubika minal jubn), mengapa? Sebab sikap pengecut banyak
menghalangi sumber-sumber kebaikan. Banyak para istri yang tertahan
keinginannya karena sikap pengecut suaminya. Banyak para istri yang
tersiksa karena suaminya tidak berani menyelesaikan permasalahan yang
dihadapi. Nabi saw. terkenal pemberani. Setiap ada pertempuran Nabi
selalu dibarisan paling depan. Katika terdengar suara yang menakutkan
di kota Madinah, Nabi saw. adalah yang pertama kaluar dan mendatangi
suara tersebut.
Para istri sangat tidak suka suami pengecut. Mereka suka pada suami
yang pemberani. Sebab tantangan hidup sangat menuntut keberanian.
Tetapi bukan nekad, melainkan berani dengan penuh pertimbangan yang
matang.

Kesembilan, Pemalas
Di antara doa Nabi saw. adalah minta perlindingan kepada Allah dari
sikap malas: allahumma inni a’uudzubika minal ‘ajizi wal kasal , kata
kasal artinya malas. Malas telah membuat seseorang tidak produktif.
Banyak sumber-sumber rejeki yang tertutup karena kemalasan seorang
suami. Malas sering kali membuat rumah tangga menjadi sempit dan
terjepit. Para istri sangat tidak suka kepada seorang suami pemalas.
Sebab keberadaanya di rumah bukan memecahkan masalah melainkan
menambah permasalah. Seringkali sebuah rumah tangga diwarnai kericuhan
karena malasnya seorang suami.

Kesepuluh, Cuek Pada Anak
Mendidik anak tidak saja tanggung jawab seorang istri melainkan lebih
dari itu tanggung jawab seorang suami. Perhatikan surat Luqman, di
sana kita menemukan pesan seorang ayah bernama Luqman, kepada anaknya.
Ini menunjukkan bahwa seorang ayah harus menentukan kompas jalan hidup
sang anak. Nabi saw. Adalah contoh seorang ayah sejati. Perhatiannya
kepada sang cucu Hasan Husain adalah contoh nyata, betapa beliau
sangat sayang kepada anaknya. Bahkan pernah berlama-lama dalam
sujudnya, karena sang cucu sedang bermain-main di atas punggungnya.
Kini banyak kita saksikan seorang ayah sangat cuek pada anak. Ia
beranggapan bahwa mengurus anak adalah pekerjaan istri. Sikap seperti
inilah yang sangat tidak disukai para wanita.

Kesebelas, Menang Sendiri
Setiap manusia mempunyai perasaan ingin dihargai pendapatnya. Begitu
juga seorang istri. Banyak para istri tersiksa karena sikap suami yang
selalu merasa benar sendiri. Karena itu Umar bin Khaththab lebih
bersikap diam ketika sang istri berbicara. Ini adalah contoh yang
patut ditiru. Umar beranggapan bahwa adalah hak istri mengungkapkan
uneg-unegnya sang suami. Sebab hanya kepada suamilah ia menemukan
tempat mencurahkan isi hatinya. Karena itu seorang suami hendaklah
selalu lapang dadanya. Tidak ada artinya merasa menang di depan istri.
Karena itu sebaik-baik sikap adalah mengalah dan bersikap perhatian
dengan penuh kebapakan. Sebab ketika sang istri ngomel ia sangat
membutuhkan sikap kebapakan seorang suami. Ada pepetah mengatakan:
jadilah air ketika salah satunya menjadi api.

Keduabelas, Jarang Komunikasi
Banyak para istri merasa kesepian ketika sang suami pergi atau di luar
rumah. Sebaik-baik suami adalah yang selalu mengontak sang istri.
Entah denga cara mengirim sms atau menelponnya. Ingat bahwa banyak
masalah kecil menjadi besar hanya karena miskomunikasi. Karena itu
sering berkomukasi adalah sangat menentukan dalam kebahagiaan rumah
tangga.
Banyak para istri yang merasa jengkel karena tidak pernah dikontak
oleh suaminya ketika di luar rumah. Sehingga ia merasa disepelekan
atau tidak dibutuhkan. Para istri sangat suka kepada para suami yang
selalu mengontak sekalipun hanya sekedar menanyakan apa kabarnya.

Ketigabelas, Tidak Rapi dan Tidak Harum
Para istri sangat suka ketika suaminya selalu berpenampilan rapi. Nabi
adalah contoh suami yang selalu rapi dan harum. Karena itu para
istrinya selalu suka dan bangga dengan Nabi. Ingat bahwa Allah Maha
indah dan sangat menyukai keindahan. Maka kerapian bagian dari
keimanan. Ketika seorang suami rapi istri bangga karena orang-orang
pasti akan berkesan bahwa sang istri mengurusnya. Sebaliknya ketika
sang suami tidak rapi dan tidak harum, orang-orang akan berkesan bahwa
ia tidak diurus oleh istrinya. Karena itu bagi para istri kerapian dan
kaharuman adalah cermin pribadi istri. Sungguh sangat tersinggung dan
tersiksa seorang istri, ketika melihat suaminya sembarangan dalam
penampilannya dan menyebarkan bahu yang tidak enak. Allahu a’lam
Baca lebih lanjut......

Selasa, 03 Februari 2009

4 Kunci Rumah Tangga Harmonis

4 Kunci Rumah Tangga Harmonis
Oleh: Mochamad Bugi

Setiap kita pasti merindukan Rumah Tangga yang sukses, dunia dan akhirat, tentunya...

Harmonis adalah perpaduan dari berbagai warna karakter yang membentuk kekuatan eksistensi sebuah benda. Perpaduan inilah yang membuat warna apa pun bisa cocok menjadi rangkaian yang indah dan serasi.

Warna hitam, misalnya, kalau berdiri sendiri akan menimbulkan kesan suram dan dingin. Jarang orang menyukai warna hitam secara berdiri sendiri. Tapi, jika berpadu dengan warna putih, akan memberikan corak tersendiri yang bisa menghilangkan kesan suram dan dingin tadi. Perpaduan hitam-putih jika ditata secara apik, akan menimbulkan kesan dinamis, gairah, dan hangat.



Seperti itulah seharusnya rumah tangga dikelola. Rumah tangga merupakan perpaduan antara berbagai warna karakter. Ada karakter pria, wanita, anak-anak, bahkan mertua. Dan tak ada satu pun manusia di dunia ini yang bisa menjamin bahwa semua karakter itu serba sempurna. Pasti ada kelebihan dan kekurangan.

Nah, di situlah letak keharmonisan. Tidak akan terbentuk irama yang indah tanpa adanya keharmonisan antara nada rendah dan tinggi. Tinggi rendah nada ternyata mampu melahirkan berjuta-juta lagu yang indah.

Dalam rumah tangga, segala kekurangan dan kelebihan saling berpadu. Kadang pihak suami yang bernada rendah, kadang isteri bernada tinggi. Di sinilah suami-isteri dituntut untuk menciptakan keharmonisan dengan mengisi kekosongan-kekosongan yang ada di antar mereka.

Ada empat hal yang mesti diperhatikan untuk menciptakan keharmonisan rumah tangga.keempatnya adalah:

1. Jangan melihat ke belakang

Jangan pernah mengungkit-ungkit alasan saat awal menikah. “Kenapa saya waktu itu mau nerima aja, ya? Kenapa nggak saya tolak?” Buang jauh-jauh lintasan pikiran ini.

Langkah itu sama sekali tidak akan menghasilkan perubahan. Justru, akan menyeret ketidakharmonisan yang bermula dari masalah sepele menjadi pelik dan kusut. Jika rasa penyesalan berlarut, tidak tertutup kemungkinan ketidakharmonisan berujung pada perceraian.

Karena itu, hadapilah kenyataan yang saat ini kita hadapi. Inilah masalah kita. Jangan lari dari masalah dengan melongkok ke belakang. Atau, na’udzubillah, membayangkan sosok lain di luar pasangan kita. Hal ini akan membuka pintu setan sehingga kian meracuni pikiran kita.

2. Berpikir objektif

Kadang, konflik bisa menyeret hal lain yang sebetulnya tidak terlibat. Ini terjadi karena konflik disikapi dengan emosional. Apalagi sudah melibatkan pihak ketiga yang mengetahui masalah internal rumah tangga tidak secara utuh.

Jadi, cobalah lokalisir masalah pada pagarnya. Lebih bagus lagi jika dalam memetakan masalah ini dilakukan dengan kerjasama dua belah pihak yang bersengketa. Tentu akan ada inti masalah yang perlu dibenahi.

Misalnya, masalah kurang penghasilan dari pihak suami. Jangan disikapi emosional sehingga menyeret masalah lain. Misalnya, suami yang tidak becus mencari duit atau suami dituduh sebagai pemalas. Kalau ini terjadi, reaksi balik pun terjadi. Suami akan berteriak bahwa si isteri bawel, materialistis, dan kurang pengertian.

Padahal kalau mau objektif, masalah kurang penghasilan bisa disiasati dengan kerjasama semua pihak dalam rumah tangga. Tidak tertutup kemungkinan, isteri pun ikut mencari penghasilan, bahkan bisa sekaligus melatih kemandirian anak-anak.

3. Lihat kelebihan pasangan, jangan sebaliknya

Untuk menumbuhkan rasa optimistis, lihatlah kelebihan pasangan kita. Jangan sebaliknya, mengungkit-ungkit kekurangan yang dimiliki. Imajinasi dari sebuah benda, bergantung pada bagaimana kita meletakkan sudut pandangnya.

Mungkin secara materi dan fisik, pasangan kita mempunyai banyak kekurangan. Rasanya sulit sekali mencari kelebihannya. Tapi, di sinilah uniknya berumah tangga. Bagaimana mungkin sebuah pasangan suami isteri yang tidak saling cinta bisa punya anak lebih dari satu.

Berarti, ada satu atau dua kelebihan yang kita sembunyikan dari pasangan kita. Paling tidak, niat ikhlas dia dalam mendampingi kita karena Allah sudah merupakan kelebihan yang tiada tara. Luar biasa nilainya di sisi Allah. Nah, dari situlah kita memandang. Sambil jalan, segala kekurangan pasangan kita itu dilengkapi dengan kelebihan yang kita miliki. Bukan malah menjatuhkan atau melemahkan semangat untuk berubah.

4. Sertakan sakralitas berumah tangga

Salah satu pijakan yang paling utama seorang rela berumah tangga adalah karena adanya ketaatan pada syariat Allah. Padahal, kalau menurut hitung-hitungan materi, berumah tangga itu melelahkan. Justru di situlah nilai pahala yang Allah janjikan.

Ketika masalah nyaris tidak menemui ujung pangkalnya, kembalikanlah itu kepada sang pemilik masalah, Allah swt. Pasangkan rasa baik sangka kepada Allah swt. Tataplah hikmah di balik masalah. Insya Allah, ada kebaikan dari semua masalah yang kita hadapi.

Lakukanlah pendekatan ubudiyah. Jangan bosan dengan doa. Bisa jadi, dengan taqarrub pada Allah, masalah yang berat bisa terlihat ringan. Dan secara otomatis, solusi akan terlihat di depan mata. Insya Allah!

Baca lebih lanjut......

Kamis, 22 Januari 2009

Langit Kembali Cerah... Alhamdulillah..., Namun...

Hati kami masih sedih, kapankah waktu ketentuan dari "langit" mengabarkan kepada kami, panggilan Jihad di Bumi Al-Quds, Palestina...
Kami rindu "langit" mengabarkan inspirasi dan memanggil kami untuk ikut berjuang, sebagaimana pemuda Handzolah meleburkan dirinya dalam perang Jihad...
Malaikat pun turun dengan air sucinya untuk Handzolah...

Semoga masih banyak "air-air suci" dari Malaikat untuk kita semua...
Barakallaahu.
Baca lebih lanjut......

Senin, 19 Januari 2009

Topeng Emansipasi

Penyusun: Ummu Khadijah dan Ummul Hasan
Muraja’ah: Ust. Aris Munandar

Saudariku yang semoga dirahmati Allah, sudah tidak asing terdengar di telinga kita bahwa baiknya wanita akan menjadi kunci kebaikan umat. Peran dan partisipasi seorang wanita adalah suatu hal yang sangat penting. Wanita laksana pedang bermata dua, jika ia baik dan menunaikan tugas-tugas utamanya sesuai dengan yang Allah gariskan maka ia bagaikan batu-bata yang baik bagi bangunan masyarakat Islam. Namun jika ia telah menyimpang dari syari’at yang Allah tetapkan, maka ia ibarat pedang yang akan merusak dan menghancurkan umat.

Emansipasi Wanita

Musuh-musuh Islam sangat paham bahwa peran wanita muslimah sangat penting dalam membangun masyarakat Islam. Oleh karena itu, mereka selalu berusaha menyerang Islam melalui kaum wanitanya. Salah satu upaya tersebut adalah dengan menghancurkan wanita muslimah melalui “emansipasi”. Mereka menamakan emansipasi sebagai gerakan yang membebaskan wanita dari kezhaliman dan untuk memenuhi hak-hak mereka secara adil (menurut mereka) –dengan slogan toleransi, kebebasan wanita, persamaan gender, dan sebagainya.

Namun ketahuilah wahai Saudariku, emansipasi tumbuh dari sistem sekuler yang memisahkan antara kehidupan dan nilai agama. Mereka menginginkan wanita menjadi pesaing bagi laki-laki dan memperebutkan kedudukan dengan kaum laki-laki. Wanita dalam konsep mereka ibarat barang dagangan yang dipajang di etalase, yang siap dijadikan tontonan bagi para hamba syahwat dan menjadi budak nafsu mereka. Na`udzubillah, mereka juga berusaha menjauhkan wanita dari hijab dan rumah-rumah mereka, mengabaikan pengasuhan anak dengan mengatakan bahwa mengasuh anak tidak mendatangkan materi, membunuh kreatifitas dan menghambat potensi sumber daya manusia kaum wanita. Coba kita perhatikan, betapa menyedihkannya pemikiran mereka ini yang memandang baik buruknya kehidupan dari sudut pandang materi.

Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dengan syubhat-syubhat (kerancuan) yang mereka lontarkan. Mungkin secara sepintas, wacana emansipasi mampu menjawab problematika wanita dan mengangkat harkatnya tapi tidaklah mungkin itu diraih dengan mengorbankan kehormatan dan harga diri wanita. Sungguh, tak akan bisa disatukan antara yang haq dengan yang bathil. Mereka tidaklah ingin membebaskan wanita dari kezhaliman tetapi sesungguhnya merekalah yang ingin bebas menzhalimi wanita!!!

Wanita Dalam Islam

Islam benar-benar memperhatikan peran wanita muslimah, karena di balik peran mereka inilah lahir pahlawan dan pemimpin agung yang mengisi dunia dengan hikmah dan keadilan. Wanita begitu dijunjung dan dihargai perannya baik ketika menjadi seorang anak, ibu, istri, kerabat, atau bahkan orang lain.

Saat menjadi anak, kelahiran anak wanita merupakan sebuah kenikmatan agung, Islam memerintahkan untuk mendidiknya dan akan memberikan balasan yang besar sebagaimana dalam hadits riwayat `Uqbah bin ‘Amir bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,

“Barangsiapa yang mempunyai tiga orang anak wanita lalu bersabar menghadapi mereka dan memberi mereka pakaian dari hasil usahanya maka mereka akan menjadi penolong baginya dari neraka.” (HR. Ibnu Majah: 3669, Bukhori dalam “Adabul Mufrod”: 76, dan Ahmad: 4/154 dengan sanad shahih, lihat “Ash-Shahihah: 294).

Ketika menjadi seorang ibu, seorang anak diwajibkan untuk berbakti kepadanya, berbuat baik kepadanya, dan dilarang menyakitinya. Bahkan perintah berbuat baik kepada ibu disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak tiga kali baru kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebutkan perintah untuk berbuat baik kepada ayah. Dari Abu Hurairah berkata,

“Datang seseorang kepada Rasulullah lalu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak untuk menerima perbuatan baik dari saya?’ Rasulullah menjawab, ‘Ibumu,’ dia bertanya lagi, ‘Lalu siapa?’ Rasulullah menjawab, ‘Ibumu,’ dia bertanya lagi, ‘Lalu siapa?’ Rasulullah kembali menjawab, ‘Ibumu,’ lalu dia bertanya lagi, ‘Lalu siapa?’ Rasulullah menjawab, ‘Bapakmu.’” (HR. Bukhori: 5971, Muslim: 2548)

Begitu pun ketika menjadi seorang istri, Islam begitu memperhatikan hak-hak wanita sebagaimana disebutkan dalam surat An-Nisa’ ayat-19 yang artinya:

“…Dan pergaulilah mereka (para istri) dengan cara yang baik…”

Dan saat wanita menjadi kerabat atau orang lain pun Islam tetap memerintahkan untuk mengagungkan dan menghormatinya. Banyaknya pembahasan tentang wanita di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah menunjukkan kemuliaan mereka. Karena sesuatu yang banyak dibahas dan mendapat banyak perhatian tentunya adalah sesuatu yang penting dan mulia. Lalu masih adakah yang berani mengatakan bahwa Islam menzhalimi wanita?!

Wahai saudariku, demikianlah syari’at Islam menempatkan wanita di singgasana kemuliaan. Adapun di zaman sekarang, kenyataan yang terjadi di masyarakat sungguh jauh dari itu semua. Penyebabnya tidak lain adalah karena jauhnya umat Islam dari pemahaman yang benar terhadap agama mereka. Seringkali ada orang yang menjadikan kesalahan orang lain sebagai hujjah (argumentasi) baginya untuk turut berbuat kesalahan yang sama. Terkadang pula orang-orang menilai syari’at Islam dari perilaku orang-orang yang menyatakan bahwa mereka beragama Islam, namun pada hakekatnya perilaku mereka belumlah menggambarkan yang demikian. Oleh karena itu wahai Saudariku, janganlah menjadikan perilaku manusia sebagai dalil. Jadikanlah Al-Qur`an dan Sunnah dengan pemahaman para shahabat sebagai petunjuk bagi kita. Sungguh kita berlindung kepada Allah dari butanya hati dan akal dari kebenaran. Wallahul musta’an.

Dinukil dari:
Artikel “Keagungan Wanita Dalam Naungan Islam” (sumber: Majalah Al-Furqon Tahun 6 Edisi 9 Rabi’uts Tsani 1428 H)
Buku “Emansipasi Wanita” karya Syaikh Shalih bin ‘Abdullah bin Humaid
Buku “Wanita-wanita Teladan Di Masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” karya Mahmud Mahdi Al-Istanbuli dan Musthafa Abu An-Nashr Asy-Syalabi dengan perubahan seperlunya.

***

Artikel muslimah.or.id
Baca lebih lanjut......

Ketelitian

Di sebuah ruang kuliah, seorang profesor kedokteran memberikan kuliah
perdananya. Para mahasiswa baru itu tampak serius. Mata mereka terpaku menatap
profesor, seraya tangan sibuk mencatat.

"Menjadi dokter, butuh keberanian dan ketelitian," terdengar suara sang
profesor. "Dan saya harap kalian dapat membuktikannya. " Bapak itu beranjak ke
samping. "Saya punya setoples cairan limpa manusia yang telah direndam selama 3
bulan." Profesor itu mencelupkan jari ke dalam toples, dan memasukkan jari itu
ke mulutnya. Terdengar teriak-teriak kecil dari mahasiswa itu. Mereka terlihat
jijik. "Itulah yang kusebut dengan keberanian dan ketelitian," ucap profesor
lebih meyakinkan.

"Saya butuh satu orang yang bisa berbuat seperti saya. Buktikan bahwa kalian
ingin menjadi dokter." Suasana aula mendadak senyap. Mereka bingung: antara
jijik dan tantangan sebagai calon dokter. Tak ada yang mengangkat tangan. Sang
profesor berkata lagi, "Tak adakah yang bisa membuktikan kepada saya? Mana
keberanian dan ketelitian kalian?”

Tiba-tiba, seorang anak muda mengangkat tangan. "Ah, akhirnya ada juga yang
berani. Tunjukkan pada teman-temanmu bahwa kau punya keberanian dan ketelitian.”
Anak muda itu menuruni tangga, menuju mimbar tempat sang professor berada.
Dihampirinya stoples itu dengan ragu-ragu. Wajahnya tegang, dan perasaan jijik
terlihat dari air mukanya.

Ia mulai memasukkan jarinya ke dalam toples. Kepala menoleh ke samping dengan
mata yang menutup. Teriakan kecil rasa jijik kembali terdengar. Perlahan,
dimasukkannya jari yang telah tercelup lendir itu ke mulutnya. Banyak orang yang
menutup mata, banyak pula yang berlari menuju kamar kecil. Sang professor
tersenyum. Anak muda itu tersenyum kecut, sambil meludah-ludah ke samping.

"Aha, kamu telah membuktikan satu hal, anak muda. Seorang calon dokter memang
harus berani. Tapi sayang, dokter juga butuh ketelitian." Profesor itu menepuk
punggung si mahasiswa. "Tidakkah kau lihat, aku tadi memasukkan telunjuk ke
toples, tapi jari tengah yang masuk ke mulut. Seorang dokter memang butuh
keberanian, tapi lebih butuh lagi ketelitian."

***

Tantangan hidup, kadangkala bukan untuk menghadapi kematian. Tapi, justru
bagaimana menjalani kehidupan. Banyak orang yang takut mati. Tapi, tidak sedikit
yang memilih mati ketimbang hidup. Banyak yang menghabisi hidup pada jalan-jalan
tercela. Banyak pula yang enggan hidup hanya karena beratnya beban kehidupan.

Ujaran profesor itu memang benar. Tantangan menjadi seorang dokter-dan
sesungguhnya, menjadi manusia-adalah dibutuhkannya keberanian dan ketelitian.
Bahkan, tantangan itu lebih dari sekadar mencicipi rasa cairan limpa di toples.
Lebih berat. Jauh lebih berat. Dalam kehidupan, apa yang kita alami kadang lebih
pahit dan menegangkan. Namun, bagi yang teliti, semua bisa jadi manis, menjadi
tantangan yang mengasyikkan. Di sanalah ditemukan semua rasa, rupa dan suasana
yang mendidik. Dan mereka dapat dengan teliti memilah dan memilih.

Teman, hati-hatilah. Hidup memang butuh keberanian. Tapi, akan lebih butuh
ketelitian. Cermati langkahmu, waspadai tindakanmu. Hati-hati saat "mencelupkan
jari" dalam toples kehidupan. Kalau tidak, "rasa pahit" yang akan kita temukan.
Motivasi Islami
Baca lebih lanjut......